Keluarga Sakinah

Mari Bersama-sama Kita Wujudkan Keluarga Sakinah Mawaddah Wa Rohmah

13 April 2008

Detik2 yang Mendebarkan

Sepuluh hari di rumah, suami berangkat lagi ke Sampit. Sedih banget rasanya, ditinggalkan suami, eh kata suami, dek nur kutitipkan, bukannya kutinggal. Meski begitu aku tak kuasa menahan derasnya air mata melepas keberangkatan suami tercinta.
Hari2 kulewati bersama ibu, bapak dan adekku. Tiap habis subuh jalan2 sama bapakibu keliling desa, siangnya renang, sore klo lagi gak males senam hamil. Semua itu kulakukan untuk putraku (hasil usg laki2), agar dia sehat dan bisa lahir dengan selamat. Stimulasi tetap kami lakukan dengan cara ngobrol dan mengajarkan banyak hal pada putraku. Meski abinya jauh di sampit, tapi selalu menyempatkan diri telp dan ngajak ngobrol anak kami. Mungkin karena udah terbiasa mendengar suara abinya, kalo seharian abinya nggak telp, malam putraku nggak bisa tidur, terus2an bergerak. Baru setelah dikasih tau abinya capek dan udah tidur, atau ditelpon, baru dia bisa berhenti bergerak. Subhanalloh ya.
Sebulan menjelang HPL, perutku mulai terasa sakit. Kadang ketika jalan2, tiba2 sakitt banget, abis itu ilang lagi. Kata ibuku, nggak papa, ibu dulu juga begitu, sebulan sebelum melahirkan udah mulai ada kontraksi yang timbul tenggelam. 2minggu kemudian kontraksi semakin sering, kata tukang pijatku, posisi kepala bayi dah mapan, tinggal nunggu harinya. Malamnya aku ke bidan, periksa dalam, dan ada lendir darah tapi belum ada pembukaan. Satu jam kemudian, bukaan satu. Aku langsung ngabari suami, berhubung gak ada penerbangan malam, ia langsung minta mertuaku untuk menemaniku. Akhirnya malam itu kami ramai2 tidur di depan TV, nunggu kalau tiba2 aku mau melahirkan. Paginya suami langsung terbang ke Jakarta dilanjutkan ke Jogja.
Pagi-pagi bu bidan datang ke rumahku, dan setelah diperiksa dan mempertimbangkan banyak hal (kepala masih belum masuk jalan lahir, bukaan nggak nambah2, beliaunya mau kuliah), akhirnya aku di bawa ke RS. Alhamdulillah langsung ketemu dokter kandungan, setelah diperiksa, ternyata kepala masih diatas, agak jauh dari jalan lahir, dan kontraksi masih jarang2, kata beliau, belum mau lahir, tapi coba tunggu sampai sore gimana perkembangannya, sekalian usg. Sampai siang, diperiksa bidan, malah belum ada bukaan dan masih belum bisa nyentuh kepala. Hasil usg bagus, tapi beratnya baru 2,7 kg, akhirnya dokter menyarankan untuk istirahat di rumah aja dulu. Jadilah suamiku datang sore itu langsung pulang ke rumah.
Sejak saat itu bercak darah terus aja keluar, tapi kontraksinya masih jarang. Kugunakan untuk jalan2 dan berenang, belum juga nambah bukaannya. Mertuaku menyuruh kami datang ke rumah beliau, jika nggak merasa sakit. Sampai disana keluar darah yang cukup banyak, akhirnya kami langsung ke bidan. Lagi2 dikatakan bukaan 1 dan tinggal nunggu jam aja. Ditunggu sampai 2hari, nggak ada perkembangan. Akhirnya kami pulang ke rumah orang tuaku lagi.
Saat adzan maghrib, tiba2 keluar darah segar yang cukup banyak dari kemaluanku, bu bidan datang dan dikasih obat, yang membuat perutku mulas. Ternyata mulasnya memang mau BAB, bukan karena kontraksi. Malam itu aku nggak bisa tidur karena 3 jam sekali minum obat itu dilanjutkan BAB.
Setengah lima pagi, saat iqamah subuh, tiba2 suuurrrr, aku seperti kencing tapi nggak bisa kutahan. Bingung sekali, karena bapak, ibu dan suamiku lagi ke masjid. yang di rumah cuma adekku, itu aja masih tidur. Kutelpon nggak diangkat, dikira cuma ngerjain. Kutelpon kakakku, katanya itu ketuban yang pecah. Akhirnya adekku mau ngangkat telp dan kuminta dia menjemput ibu di masjid.
Sepulangnya dari masjid, kami langsung ke bidan. Memang itu air ketuban, tapi cuma bocor, karena keluarnya sedikit sedikit tapi terus menerus. Berhubung belum ada kontraksi sama sekali, kami dipersilahkan untuk istirahat di rumah dulu. Sekitar jam 3 sore, kontraksi tetap belum datang, akhirnya aku dirujuk ke RS. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, sekarang malah belum ada bukaan dan kepala juga belum tersentuh, sedangkan ketuban udah pecah lebih dari 10 jam, dokter langsung menanyakan kesiapan keluarga untuk operasi.
Tanpa diajak musyawarah terlebih dahulu, aku langsung dipersiapkan untuk operasi. Ternyata suami, ibu dan kakakku telah mengijinkan dokter untuk mengoperasiku. Sempat nangis, sedih, bingung, kecewa, takut, dan berbagai perasaan campur aduk. Aku minta untuk di pacu dulu, tapi kata kakakku, melihat kondisiku yang sudah lemah karena pendarahan satu minggu, dan ketuban yang telah pecah melewati 12jam, kemungkinan berhasil dipacu kecil. Kalau sampai gagal kasihan aku dan bayiku. memang saat itu HBku tinggal 9,8 makanya dokter menyuruh menyiapkan 2 kantung darah.
Saat pakaianku diganti dengan baju operasi, rasanya malu banget. karena pakaiannya minim banget, cuma selembar kain, ditambah perawat memakaikan kain di kepala sebagai pengganti jilbab. Saking malunya, aku nggak berani membuka mata saat perawat mendorongku ke ruang operasi.
Sekitar jam 7 malam, di dalam ruang operasi, kembali kumerasakan pusing yang sangat amat, ditambah mual, karena lapar (kan suruh puasa sebelum operasi). Mual dan pusing ini membuatku nggak bisa melihat semua proses persalinanku. Bahkan saat dokter mengatakan anakku sudah lahir, laki2, aku nggak bisa melihatnya. Cuma bisa bilang, normal kan dok? Sementara perawat membersihkan putraku, dokter memperbaiki susunan ususku, yang katanya ada perlekatan bekas operasi yang dulu. Di situ aku sudah nggak tahan lagi, jadilah aku muntah2 di ruang operasi karena lapar.
Lega sekali rasanya, akhirnya lahir juga putraku dengan selamat, meski harus dengan jalan operasi.

Tidak ada komentar: